MEMBANGUN POLA PIKIR BERETIKA

Dalam suasana hiruk-pikuk kekinian di masyarakat kita, pengembangan perilaku seseorang menjadi amat penting. Karena itu upaya membangun pola pikir dan sistem nilai yang dapat menjiwai seseorang dalam bertingkah di tengah kemajemukan kehidupan, menjadi kata kunci.

Pertanyaannya, kenapa menjadi penting? Ini lantaran perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pola pikir dan sistem nilai yang dianutnya. Dalam perspektif pola pikir dan sistem nilai inilah ada baiknya direnungkan kembali tentang pentingnya membangun pola pikir dan sistem nilai di masyarakat kita.

Pemikiran Howard Gardner (Five Minds For The Future, 2006) menarik untuk disimak. Ada lima level pola pikir yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pertama, disciplined mind, pola pikir yang berbasis pada satu disiplin keilmuan, tanpa mau tahu ada atau tidak pola pikir lain atau perkembangan lain diluar dirinya. Pola pikir semacam ini sangat rigid, sehingga dalam kehidupan yang majemuk seperti di masyarakat kita, mengandalkan dan membangun pola pikir semacam ini bukanlah pilihan tepat.

Kedua, synthesizing mind, pola pikir yang dikembangkan dengan cara mengkombinasikan beragam disiplin keilmuan, sehingga lebih komprehensif dan memiliki beragam sudut pandang dalam melihat permasalahan. Tetapi tetap berpijak pada frame disiplin keilmuan yang ada. Sudah barang tentu pola pikir kedua ini sedikit lebih baik ketimbang pola pikir pertama di tengah kemajemukan masyarakat kita. Tapi mengandalkan dan mengembangkan synthesizing mind saja belumlah cukup.

Ketiga, creating mind. Pola pikir di level ini setingkat lebih tinggi dibanding dengan synthesizing mind. Pola pikir ini tidak hanya mampu mengkombinasikan terhadap disiplin keilmuan yang ada, tetapi mampu berpikir di luar 'kotak' disiplin keilmuan yang telah ada. Dengan ide-ide kreatifnya, pola pikir ini mampu memberikan sesuatu yang segar dan baru untuk memecahkan stagnasi yang menjemukan. Konsekuensinya akan menghasilkan keanekaragaman (deversity) produk pemikiran yang bisa jadi memiliki potensi terjadinya benturan (clash) antar produk pemikiran tersebut yang justru menimbulkan masalah baru.

Keempat, respectful mind. Pola pikir ini dikembangkan atas dasar fakta adanya keanekaragaman dalam kehidupan. Menghormati (respectful mind) menjadi salah satu syarat wajib dalam kemajemukan baik yang sifatnya alami (given) maupun yang dihasilkan akibat kreasi manusia. Dengan saling menghormati dan menghargai akan adanya kemajemukan, keharmonisan dalam kemajemukan dapat dikembangkan. Tentunya, saling menghormati dan menghargai itu memiliki keambangbatasan, karena setiap orang atau masyarakat memiliki batas kemampuan untuk menerima akan adanya perbedaan dan keanekaragaman atau yang sering disebut dengan toleransi.

Intinya, toleransi itu ada batasnya. Dari sinilah, tentang pentingnya dikembangkan pola pikir kelima yaitu ethical mind. Pola pikir yang lebih mempertimbangkan nilai-nilai etika, kepantasan dan kepatutan. Bukan berarti seseorang yang dengan kemampuan kreasinya bebas mengeluarkan produk pemikirannya dan orang lain diminta untuk menghargai dan menghormatinya. Tidaklah demikian. Kreatifitas tetap harus didorong dan dihargai, tetapi bersamaan dengan itu juga harus memperhatikan dimensi etika, kepatutan dan kepantasan yang berlaku di masyarakat. Bukan kreatifitas di 'ruang hampa'.

Pola pikir kelima inilah sesungguhnya yang cocok untuk menuju keharmonisan di tengah kemajemukan masyarakat kita yang kini ditambah dengan hiruk-pikuk berbagai persoalan. Pola pikir ini merupakan level tertinggi, karena sesungguhnya upaya saling harga-menghargai dan hormat-menghormati belumlah cukup, mengingat upaya menghargai dan menghormati sesungguhnya juga punya batasan. Pada titik inilah upaya dalam mengembangkan dan menggunakan ethical mind menjadi kata kuncinya.

Sumber: http://tijmz.files.wordpress.com/2011/03/neurlogy.jpg
Sistem Nilai
Bagaimana dengan sistem nilai yang harus dibangun? Jika pola pikir kelima yang dikembangkan, maka sistem nilai yang harus dimiliki juga harus selalu berorientasi pada asas kemanfaatan dan kemaslahatan. Artinya, dimana pun seseorang berada, dia selalu diharapkan mampu memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan.

Sistem nilai ini sejalan dengan teks profetik yang menyebutkan; sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling besar memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Konsep ini merupakan konsep anfa' atau anfa'isme, yang memang perlu dikembangkan bersama-sama secara simultan dalam membangun ethical mind.

Pertanyaannya kemudian, jika ethical mind dan konsep anfa' telah dimiliki, apakah selesai sampai di sini? Tentu tidak, karena keduanya baru terbatas pada tataran tata nilai, yang perlu didukung dengan nilai-nilai praksis. Karena untuk bisa bermanfaat bagi orang lain, di tengah kemajemukan dan berbagai persoalan bangsa ini, diperlukan seseorang memiliki etos kerja. Disinilah sesungguhnya titik temu antara pola pikir, sistem nilai dan etos kerja.

Bagaimana perjalanan berikutnya? Memadukan ketiga hal itu --pola pikir, sistem nilai, dan etos kerja-- dalam konsep selalu mencari sebab-musababnya. Disinilah domain akal digunakan, sehingga dalam melihat persoalan sekarang objektivitas menjadi pisau analisis.

Menarik untuk disimak, nilai yang terkandung dalam pernikahan dan perceraian atau MDV (Married and Divorce Values). Bagi orang yang mau menikah, dalam melihat pasangannya selalu baik dan mulia. Sebaliknya, bagi orang yang mau bercerai, dalam melihat pasangannya tidak ada benarnya, selalu kurang dan salah melulu, meski kehidupan rumah tangganya berlangsung puluhan tahun dan sudah beranak pinak. M-Values memberikan makna adanya fanatisme tentang selalu benar, dan D-Values memberikan makna selalu salah. Menggunakan M-Values dan D-Values secara terpisah dalam melihat segala permasalahan dalam hiruk pikuknya kemajemukan termasuk di dalamnya kemajemukan yang didasarkan politik praktis berjangka pendek, bisa menyebabkan hilangnya akal sehat dan obyektivitas, yang semuanya akan bermuara pada keterjebakan dalam kerumitan membentuk lingkaran setan.

Membangun pola pikir berbasis etika (ethical mind), dengan etos kerja selalu memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan (Anfa'isme) serta menggunakan MDV secara utuh dalam setiap kali melakukan analisis persoalan, Insya Allah bangsa Indonesia bisa kita hantarkan menuju keharmonisan dalam kemajemukan yang dinaungi dengan keadilan dan kesejahteraan serta kerahmatan dari Allah SWT.

Sumber:
Republika, Jum'at 13 Juni 2008

Comments