PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK USIA DINI

Bagaimanapun 'ketidakadilan' merupakan musuh bersama seluruh umat manusia, yang kita semua harus bersiap untuk memeranginya. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, salah satunya adalah gugatan yang mempertanyakan ketidakadilan sosial terhadap perempuan, hingga akhirnya munculah gerakan feminisme yang merupakan counter terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Kaum feminis berkesimpulan bahwa ketidak-adilan yang selama ini terjadi bukanlah kodrat (konsef/jenis kelamin) melainkan karena dikonstruksi secara sosial melalui proses sosial dan kultural yang panjang (jender).

Jika kita mengkaji lebih dalam dan melihat persoalan pendidikan yang dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat terhadap perbedaan jenis kelamin ini, mungkin akan menemukan jawabannya. Bisa jadi kejanggalan-kejanggalan dalam memperlakukan lawan jenis selama ini di masyarakat adalah produk lama (atau mungkin baru) yang sebenarnya salah dalam menempatkan posisi masing-masing sehingga yang terjadi adalah persinggungan bukan sinergi. Untuk itu pendidikan seks pada anak usia dini (pendidikan jati diri kekelaminan) sangat diperlukan dalam rangka membangun masa depan anak yang lebih baik.
Psikologi Perkembangan Anak
Dalam konteks psikologi, perkembangan seorang anak menjadi satu perspektif penting yang harus diperhitungkan keberadaannya. Bahkan, tahun-tahun pertama kehidupannya telah ikut menentukan pembentukan kepribadian anak. Sigmund Freud berpendapat bahwa anak melewati serangkaian tahapan yang secara dinamis berlainan selama lima tahun pertama kehidupannya (sequential system). Freud membaginya menjadi lima tahap, yaitu tahap Oral (mulut) (sebagai sumber kenikmatan utama), tahap anal (kenikmatan dalam fungsi pembuangan), tahap phallic (daerah kenikmatan seksual laki-laki), tahap latency (tahap perkembangan kecerdasan-masa sekolah), dan tahap genital (alat-alat genital menjadi sumber kenikmatan). Khusus pada tahap ke-3 (phallic) Freud menyatakan bahwa kenikmatan seksual hanya difokuskan pada laki-laki (phallus), sebaliknya anak perempuan hanya mempunyai klitoris (dipandang sebagai kekurangan). Pesan bias jender sangat terasa pada tahap ini, padahal perbedaan jenis kelamin adalah Tuhan yang sangat tidak adil jika kemudian kita membandingkan antara keduanya. Namun hal ini pada gilirannya menjadi kenyataan yang tak terelakkan yang terjadi pada sebagian besar masyarakat.

Selanjutnya, pada periode bayi dan anak kecil, anak harus belajar tentang perbedaan dan aturan-aturan jenis kelamin (teori tugas perkembangan Havighurst). Pada periode ini orang tua dan masyarakat mulai menanamkan norma-norma pada anak yang membedakan anak laki-laki dengan anak perempuan, misalnya anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sedangkan anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. Hal ini berlanjut sampai masa dewasa dimana peran teknisi lebih banyak didominasi oleh laki-laki sementara peran perawat, juru rias dan juru masak lebih didominasi oleh perempuan, meskipun ironisnya tokoh-tokoh yang muncul dari profesi tersebut adalah laki-laki. Laki-laki yang feminim, karena proses budaya telah memutlakkan profesi juru masak atau perawat adalah milik perempuan, akhirnya mereka berusaha mengidentikkan diri dengan wanita. Begitu juga sebaliknya, wanita yang menjadi teknisi cenderung kelaki-lakian (maskulin) karena ia pun berusaha untuk mengidentikkan diri dengan laki-laki.

Hal ini pada akhirnya berlanjut sampai pada periode sekolah, dimana anak mulai belajar peranan jenis kelamin. Pada periode ini perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan kentara sekali, terlebih mereka telah dibekali sebelumnya (dari rumah dan lingkungan masyarakat) dengan pemikiran bahwa laki-laki dan perempuan adalah tidak sama. Misalnya, guru lebih banyak bertanya pada anak laki-laki karena ia identik dengan keberanian sementara perempuan cenderung menjadi pendengar karena ia identik dengan pemalu, sehingga peran-peran pengambil keputusan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Tugas Orangtua
Dalam menyikapi berbagai perubahan sosial dan teknologi yang begitu cepat dalam masyarakat, maka orangtua harus mempunyai pegangan dalam memberikan pendidikan seks yang tepat untuk anak dini usia. Pendidikan ini saya lebih menyebutkannya jati diri kekelaminan. Beberapa tugas pokok orang tua tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Memberi nama yang tepat. Pemberian nama yang tepat akan memberi identitas yang tepat pada anak. Dengan perkembangan dan perubahan sosial nama anak semakin baik dan beragam, namun identitas kekelaminan justru sangat penting.
  2. Kebiasaan memberikan pakaian yang sesuai. Orang tua yang bingung dengan kebiasaan atau perilaku anaknya yang kelaki-lakian atau keperempuan-perempuanan, mungkin disebabkan oleh kebiasaan orang tua yang salah dalam memberikan pakaian yang sesuai dengan anak.
  3. Pemilihan warna yang tepat. Warna dan motif juga bisa menunjukkan identitas kekelaminan.
  4. Pengembangan hobi yang menunjang. Kecenderungan anak biasanya terbaca sejak kecil. Dengan demikian pengembangan hobi yang sesuai akan memberikan bakal yang baik untuk perkembangan anak.
  5. Kesesuaian dengan aturan main dalam agama. Rambu-rambu atau aturan main agama, memberikan batas yang tegas antara baik buruk dalam memberikan bimbingan yang tepat kepada anak.
  6. Memperhatikan tanggung jawab domestik (rumah tangga). Memperkenalkan tugas-tugas domestik kepada anak juga sangat penting, sehingga anak mengerti tugas fungsi dan peran yang harus dimainkan.
  7. Pengenalan alat reproduksi. Dalam masa-masa khusus biasanya anak mulai ingin mengenal alat reproduksinya, yang terpenting adalah bagaimana orang tua mampu mengarahkan dengan baik.
  8. Kewajiban hidup. Menjelang dewasa pengenalan terhadap kewajiban-kewajiban kehidupan juga sangat penting. Bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam pernikahan (pemberian mas kawin, ijab kabul serta akad nikah).
  9. Intervensi pendidikan. 
Intervensi Pendidikan yang Tepat
Dalam memberikan bekal yang optimal kepada anak, pendidikan harus memberdayakan beberapa potensi yang dimiliki anak. Potensi yang perlu dikembangkan pada anak agar tumbuh secara seimbang dan optimal adalah potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, dan potensi jasmani.

Sebagai masyarakat beragama, potensi spiritual merupakan landasan utama dalam pendidikan anak. Potensi ini biasanya dalam masyarakat kita sering dikalahkan oleh potensi akal/intelegensi. Padahal harus dibangun lebih awal. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam membangun potensi spiritual antara lain mampu menghadirkan Tuhan/keimanan dalam setiap kegiatan, kegemaran berbuat untuk Allah, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan berterimakasih/bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Potensi emosional sering juga disebut potensi perasaan. Hal-hal yang perlu dibangun dalam potensi perasaan tersebut adalah mengendalikan emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat, dan berkepribadian stabil.

Dalam mengembangkan potensi akal, hal-hal yang perlu dilakukan dalam mengembangkan potensi akal adalah kemampuan berhitung, kemampuan verbal, kemampuan spesialis, kemampuan membedakan, dan kemampuan membuat daftar prioritas. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam mengembangkan potensi sosial adalah senang berkomunikasi, senang menolong, senang berteman, senang membuat orang lain senang, dan senang bekerja sama. Terakhir, hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan potensi jasmani adalah sehat secara medis, tahan cuaca, dan tahan bekerja keras.

Pendidikan seks untuk anak usia dini atau pendidikan jati diri kekelaminan haruslah diberikan dengan rambu-rambu aturan yang jelas. Gelombang pemikiran yang terus memperjuangkan kesamaan laki-laki dan perempuan tanpa mengindahkan rambu-rambu agama harus kita lihat secara lebih jernih lagi. Dengan demikian kita akan menemukan pola pendidikan dan pola asuh yang tepat kepada anak-anak kita.

Referensi
  1. Hall, C. S. dan Lindzey,G. 1993: Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta: Kanisius
  2. Arasteh,J.D. 1963: Creativity and Related Processes in the Young Child: A Review if the Literature, Jurnal of Genetic Psycology. No. 112, 77-108
  3. Bhavnani,R. and Hurr,C. 1972: Divergent Thingking in Boys and Girl, Journal of Child Psychology and Psychiarty, No. 13, 121-127
  4. Hurlock, E.B., 1999: Perkembangan Anak, Jilid 2, Jakarta: Erlangga
  5. Badan Pusat Statistik, Indikator Jender, Desember 2000
  6. Fakih, Mansour, 1996: Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Oleh:
DR. H. Arief Rachman, MPd
Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UESCO, Depdiknas
Sumber:
Buletin PADU - Edisi Perdana Buletin 01 / 2003

Comments