MENYUBURKAN SIKAP SALING MENOLONG

 
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/fungsi-zakat-dalam-islam/

Orang kaya susah berinfak, saat semua orang lemah telah ditanggung hidupnya oleh Hamid bin al-'Abbas

Saling menolong adalah sifat yang harus dilatih dan dibiasakan. Sebab, di antara watak dasar manusia yang sudah tertanam dalam jiwanya adalah asy-syuhhu (kikir). Kekikiran inilah penghalang terbesar yang membuat seseorang enggan menolong orang lain dan egois.
"Dan jiwa-jiwa (manusia) itu menurut tabiatnya adalah kikir." (QS: An-Nisa':128)

Menurut Imam Al Khatthabi, asy-syuhhu lebih berat dari al-bukhl, meski keduanya sama-sama tercela. Sebab, al-bukhl adalah keengganan untuk memberikan harta kepada orang lain, sedangkan asy-syuhhu adalah keengganan memberikan harta maupun kebaikan sekaligus! (Ath-Thibb Ar-Ruhani, Ibnul Jauzi, halaman 19).

Terhadap hal ini, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam berkata "Waspadalah kalian dari kekikiran. Sebab umat-umat sebelum kalian binasa hanya karena kikir. Kekikiran menyuruh mereka berlaku pelit, lalu mereka menjadi pelit; menyuruh mereka memutuskan hubungan keluarga, lalu mereka memutuskannya; dan menyuruh mereka berbuat durjana, lalu mereka pun menjadi durjana." (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash. Hadist shahih).

Fenomena kekikiran inilah yang mendorong sebagian lembaga, organisasi, harakah, bahkan negara, enggan saling berbagi kebaikan yang dimilikinya. Mereka enggan pula untuk saling menolong karena khawatir sebagian yang dimilikinya hilang atau terambil oleh saudaranya, entah berupa sumber daya, aset, konsep, pengalaman, sarana prasarana, jaringan, dan lain sebagainya.

Padahal, sudah menjadi konsekuensi persaudaraan untuk saling menolong. Itu artinya harus ada kesediaan untuk berkorban, sedikit maupun banyak. Tanpa saling menolong, klaim persaudaraan hanyalah omong kosong.

Di antaranya terapinya, pertama, merenungkan bahwa kaum fakir-miskin adalah saudara kita sesama manusia. Saat ini, mungkin kita sedang dilebihkan di atas mereka. Maka, ekspresikan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu Wata'ala atas karunia-Nya itu dengan cara menolong mereka.

Dalam konteks lebih luas, perasaan ini dapat diterapkan - misalnya - pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sudah lebih maju, agar bersedia menolong lembaga-lembaga lain yang masih belum maju, melalui berbagai saluran yang dimungkinkan.

Kedua, menyadari bahwa pada dasarnya semua yang kita miliki akan berujung pada perpisahan. Mungkin ia yang akan meninggalkan kita, atau kita yang meninggalkan mereka. Maka, hendaknya kita memilih jalan perpisahan yang paling mulia, berpahala, dan penuh kerelaan hati.

Bila harta yang kita miliki tidak dimanfaatkan untuk menolong orang lain dengan sukarela, ketahuilah suatu saat Allah Subhanahu Wata'ala bisa mengambilnya sementara hati kita dalam keadaan tidak suka.

Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata, "Hendaklah seseorang yakin bahwa kelak ia akan meninggalkan apa yang dimilikinya dalam keadaan tercela (yakni, bila ia pelit). Maka, hendaklah ia mengeluarkan dirinya sendiri dari (kondisi) itu, sebelum ia yang dikeluarkan darinya (dalam keadaan tercela)." (Ath-Thibb Ar-Ruhani, hal. 19)

Ketiga, banyak mengenal kehidupan orang-orang dermawan dan gemar menolong orang lain, sehingga hati tergerak meneladaninya. Kisah-kisah teladan sangatlah penting dalam menginspirasi jiwa manusia, dan inilah alasan mengapa Al-Qur'an menyitir banyak kisah di dalam ayat-ayatnya.

Sumber: https://www.dictio.id/t/saling-tolong-menolong/62749

Teladan Generasi Terdahulu
Bila kita menelusuri jejak kehidupan generasi terdahulu, niscaya kita akan terkagum-kagum. Seolah-olah dongeng, tapi sesungguhnya itu adalah nyata adanya.

Dalam Siyaru A'lamin Nubala', Imam Adz-Dzahabi menukil ratusan kisah dalam tema ini, yang sekaligus menunjukkan bahwa sikap tolong menolong bukanlah fenomena asing, namun telah membudaya di kalangan orang-orang shaleh terdahulu.

Contohnya Hakim bin Hizam, seorang Sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam yang wafat pada 54 H. Ia pernah berkata, "Bila pagi tiba, sementara di depan pintu rumahku tidak ada orang yang membutuhkan bantuan(ku), maka aku tahu itu adalah musibah dan aku berharap agar Allah memberiku pahala atasnya." (III/51)

Diceritakan, ada seorang saudagar yang membeli roti senilai satu dirham di Wasith dengan maksud disedekahkan. Namun, ia tidak mendapati seorang fakir pun yang akan diberinya. Maka, si penjual roti itu berkata, "Anda tidak akan mendapati seorang pun, sebab semua orang lemah disini telah ditanggung hidupnya oleh Hamid bin Al-'Abbas, sang menteri." (XIV/359)

Boleh jadi, kegemaran saling menolong inilah yang melatari tersebarnya kesejahteraan di zaman Umar bin Abdul Aziz; di samping sikap beliau yang serius dalam memperhatikan nasib kaum dhuafa. Di masa itu, sampai-sampai seorang hartawan yang ingin menyalurkan sedekah tidak mendapati seorang pun yang menerimanya, karena semua telah berkecukupan. (V/131)

Hakim bin Hizam, Hamid bin al-'Abbas, dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mungkin dinaggap wajar kalau gemar menolong. Mereka adalah hartawan dan penguasa. Tapi bagaimana dengan orang yang sebenarnya tidak termasuk kaya?

'Affan bin Muslim, seorang ulama ahli Hadits pernah menceritakan kebiasaan Syu'bah bin Al-Hajjaj bin Al-Ward, seorang Atba' Tabi'in yang wafat pada 160 H. Suatu saat Syu'bah melihat seseorang mengenakan baju baru, lalu ditanya, "Berapa kau beli baju ini?" Dijawab, "Delapan dirham." Beliau langsung menukas, "Aduh, mengapa engkau tidak takut kepada Allah? Mengapa engkau tidak membeli baju seharga empat dirham saja, dan bersedekah dengan empat dirham sisanya; bukankah itu lebih baik bagimu?" (VII/208)

Masih banyak kisah lainnya, yang membuat kita takjub dan geleng kepala. Rupanya, baik yang berkelimpahan maupun memiliki keterbatasan, sama-sama bersemangat menolong orang lain. Bagaimana dengan kita? Wallahu a'lam bish-Shawab.

Sumber:
Mulia - November 2017 / Shafar 1439 H

Comments