CEMAS? ENYAHKAN!

Rasanya tak tenang jika sebentar saja si kecil lepas dari pandangan, maunya melarang ini dan itu. Hati-hati lho, maksud melindungi bisa jadi malah menghambat perkembangan buah hati.


Sakit, jatuh dari tangga, terserempet kendaraan hingga bahaya penculikan. Semua tentang si kecil begitu menghantui pikiran. Andakah orangtua pencemas? 


Widayatri Sekka Udaranti, Msi., Psi, Psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia mengungkapkan jika kecemasan tentang pengasuhan anak wajar dimiliki orangtua. "Apakah saya bisa memberikan pengasuhan yang sesuai? Apakah orang yang membantu bisa memberikan pengasuhan yang sesuai dengan keinginan saya?" ujar psikolog yang biasa disapa Wida ini. Kecemasan bertambah saat anak keluar dari rumah seperti sekolah. Akan muncul pikiran seperti, apakah gurunya cukup menjaga? Apakah supir antar-jemput ugal-ugalan? "Itu wajar karena orangtua ingin keselamatan anak terjamin," lanjutnya.

Kecemasan menjadi tak wajar saat Anda terlalu banyak mengeluarkan larangan terhadap si kecil. "Melarang anak bermain di luar dan hanya dikungkung di rumah adalah sikap overprotective yang mengganggu perkembangan anak," ungkap Wida. Mengapa itu bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya?

Beberapa orang memiliki kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain karena berbagai faktor. "Bisa jadi secara genetis ia memiliki orangtua pencemas, namun faktor lingkungan memiliki peran yang besar membentuk pribadi pencemas," tutur Wida.


Tanpa didasari rasa cemas itu dipupuk sedari kecil lewat pola asuh. "Seseorang yang cenderung santai dibesarkan oleh orangtua yang santai," ujar Wida. Semasa kecil ia dibebaskan untuk melakukan apa pun. Mau main di hutan terserah, membiarkan anak merasakan sendiri sakitnya terjatuh atau rasanya gatal-gatal seperti apa.

"Sementara ada juga yang tumbuh dalam pengawasan orangtuanya yang selalu meneriakkan kata 'jangan', sehingga ia tumbuh jadi individu yang serba khawatir dan ia pun berlaku sama terhadap anaknya," jelas Wida. Naik tangga jangan, pegang gelas sendiri jangan, main di luar jangan. Ia tumbuh dalam pola kehati-hatian yang berlebihan dan tanpa disadari berlaku serupa terhadap buah hatinya.

Pengalaman hidup pun memiliki peran dalam membentuk kepribadian. Seseorang yang memiliki pengalaman buruk yang belum tertuntaskan dalam pikirannya, akan selalu terhantui oleh bayangan buruk. "Misalnya dia pernah hampir diculik dan masih sering teringat akan hal itu. Ia tak ingin pengalaman traumatik itu dialami oleh anaknya. Untuk mencegahnya ia memproteksi anaknya, sedikit-sedikit anaknya ditanya, dihubungi, ditunggui," ungkap Wida.

Terlalu dilindungi, membuat pribadi anak tidak mandiri. Jika semua aktivitas harus didampingi, saat pendamping berhalangan, anak pun batal berkegiatan. Nah, aktivitas jadi terbatas, efeknya relasi dirinya dengan lingkungan pun ikut terbatas.

Overprotective Hanya Menimbulkan Masalah Baru
Orangtua yang overprotective cenderung menganggap masalah selesai dengan memberi aturan serba tidak boleh. Padahal larangan ini itu tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. "Meski si anak selalu berada di dekat orangtua dan mudah terpantau gerak-geriknya, namun sebenarnya banyak efek negatif bagi perkembangan anak," ujar Wida.

Aktivitas Terhambat, Relasi Terbatas
Sikap terlalu melindungi, menyebabkan pribadi anak tidak mandiri. Jika semua aktivitasnya harus didampingi, saat tidak ada yang bisa mengantar, si anak pun batal berangkat. Nah, aktivitas jadi terbatas, efeknya relasi dia dengan lingkungan pun ikut terbatas. "Saat anak lain bermain, dia tidak. Dia pun otomatis tidak belajar social skill seperti cara berinteraksi dengan orang lain, atau bersikap saat bertemu orang baru," jelas Wida.

Jika anak tidak berkesempatan belajar akan hal itu, saat dewasa dia akan kebingungan menghadapi masalah dalam interaksi sosial. Ia tak paham apa yang akan dilakukan saat menghadapi konflik. "Contoh kasus begini, saat si kecil pulang bermain, dia akan cerita sama ibunya 'Ma tadi aku berantem lho. Nah, si Ibu bisa bertanya alasannya lalu menasihati sebaiknya bagaimana sikap yang benar. Social skill anak pun berkembang saat itu," tutur Wida.

Anak yang terlalu dikungkung di rumah perkembangannya tidak optimal. "Anak tidak cuma memerlukan perkembangan fisik tetapi juga perkembangan sosial emosional. Itu berkaitan dengan perkembangan pribadi dia dan biasanya itu terkait dengan interaksi dia dengan lingkungan," tegas Wida.


Tumbuh Jadi Pribadi Pencemas Dan Penakut
Orangtua yang serba melarang dengan cara menakut-nakuti seperti 'Jangan ke sana ya nanti kamu ketemu preman. Jangan ke situ lho nanti kamu celaka' membuat anak cenderung tumbuh jadi pribadi yang juga pencemas. Kreativitasnya pun terbatasi oleh ketakutan yang tak pasti. Takut melakukan sesuatu karena takut salah dan takut tidak aman. "Akibatnya dapat timbul rasa sulit percaya dalam diri si anak saat dia harus berinteraksi. Saat duduk di kelas, dia akan curiga terhadap teman, takut dijahati," jelas Wida.

Melelahkan Diri Sendiri
Bagi Anda sendiri, memelihara kecemasan tidak kalah merugikan. Aktivitas harian Anda bisa terganggu, bahkan bukan tidak mungkin mengganggu aktivitas orang lain juga. "Di kantor tidak fokus bekerja karena terus memikirkan anak, di rumah anak tetangga kena marah karena dianggap mengancam keselamatan anak sendiri. Ini sama sekali tidak menguntungkan," ungkap Wida. Capek lho terus menerus memikirkan hal yang bahkan tidak terbukti kebenarannya. Ujung-ujungnya stres dapat timbul. Hati-hati, tidak sedikit penyakit fisik yang berawal dari stres.

Mengurangi Kekhawatiran
Kekhawatiran yang Anda rasakan tentang anak memang sebaiknya tak dihilangkan. "Tidak adanya kecemasan sama sekali juga berbahaya," ingat Wida. "Kecemasan membantu kita menentukan tindakan antisipasi," jelasnya. Misalnya untuk mengantisipasi nilai buruk, anak harus dimotivasi belajar. Namun kendalikan kekhawatiran Anda agar tidak sampai menghambat perkembangan sosial dan kepribadian si kecil. Ada beberapa trik sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang Anda rasakan.

Memilih Media Yang Tepat
Arus media yang gencar memberitakan berbagai peristiwa mengerikan bisa membuat para orangtua semakin khawatir. Mulai berita penculikan, anak hilang, pelecehan hingga pembunuhan. Semua dengan mudahnya membuat orangtua semakin was-was akan keselamatan putra-putrinya. Tak jarang ada yang memutuskan membatasi kegiatan anak-anaknya atas nama keselamatan ini. "Kurangi menonton siaran berita yang hanya akan membuat Anda makin senewen," saran Wida.


Curahkan Isi Hati
Cara paling sederhana adalah berdiskusi dengan pasangan. "Bicarakan kekhawatiran Anda. Misalnya, amankah si kecil jika menggunakan kendaraan umum ke sekolah? Selain kecemasan berkurang. Komunikasi pun terjalin harmonis," ujar Wida. Pasangan adalah orang terdekat yang paling mengerti diri Anda. Bicara dengannya memungkinkan ditemukannya solusi terbaik bagi kepentingan Anda maupun si anak.

Mencari Pembanding
Jangan simpan masalah Anda sendiri. Carilah orangtua lain yang juga bisa diajak berbagi. "Tanyakan hal-hal yang biasa mereka lakukan terhadap anak-anak mereka. Sehingga Anda memiliki perbandingan, jika yang Anda lakukan wajar atau berlebihan," kata Wida. Semakin banyak orangtua yang Anda ajak bicara, semakin kuat perbandingan yang Anda dapatkan.

Yoga
Melakukan olah tubuh seperti yoga, meditasi atau relaksasi membantu Anda untuk lebih tenang. Pikiran yang penuh dapat dikosongkan salah satunya dengan mengatur teknik pernafasan. "Setelah yoga, pikiran yang semula penuh dan mumet menjadi kosong. Pikiran jadi tenang karena peredaran darah lancar, aliran darah ke otak juga lancar," ujar Wida. Pilihlah olahraga yang tidak terlalu agresif untuk membantu terciptanya keadaan fisik dan pikiran Anda yang tenang.

Berbagi Kekhawatiran Dengan Si Anak
Bagaimana bisa? Bisa. Berikan sedikit demi sedikit kepercayaan Anda padanya. "Ajari ia keterampilan yang dibutuhkan untuk keamanan, seperti jalan di sebelah kiri atau melihat kiri-kanan sebelum menyeberang," saran Wida. "Usia dan aktivitas bisa jadi pertimbangan kapan Anda memberi pengawasan penuh dan kapan melepaskan mereka," ujar Wida. "Misalnya sampai usia kelas dua SD anak harus didampingi karena belum peduli terhadap bahaya lingkungan. Lalu perlahan anak dapat dilepas ke warung sendiri," jelas Wida. Saat anak beranjak dewasa, pengawasan harus diubah. Biarkan anak mencoba memecahkan masalahnya sendiri. Misalnya memberikannya ponsel sederhana agar ia bisa meminta dijemput sepulang les, jadi tak perlu ditunggui sepanjang waktu. Semakin dewasa anak, ia hanya tinggal diingatkan bagaimana harus berhati-hati bertindak.

Berdoa
Setelah semua usaha logis untuk mencegah hal buruk terjadi selesai dilakukan, Anda tinggal berdoa dan berpasrah diri. Berdoa membuat hati dan pikiran tenang. "Tapi doanya yang khusyuk lho, bukan doa sekedarnya," ujar Wida.

Sumber:
Good Housekeeping - Agustus 2010

Comments