APAPUN PEKERJAANNYA, ETOS KERJA KUNCINYA

Pada saat orang berbondong-bondong berangkat bekerja. Tidak sedikit kita dapati orang disekitar kita, dengan berbagai alasan, yang memilih - atau terpaksa - menganggur. Ada yang karena alasan belum memperoleh pekerjaan yang layak, kurang cocok atau malu sebab pekerjaan yang diperolehnya tergolong rendahan.

Adapula yang menganggap bahwa bekerja belum menjadi tuntutan hidup, "untuk apa bekerja, toh semua kebutuhan hidup sudah terpenuhi, harta warisan orang tua tidak akan habis dimakan tujuh turunan", demikian diantara mereka beralasan. "hidup tidak perlu serius, santai sajalah!, toh rizki sudah ada yang mengatur", tutur yang lain tanpa merasa beban.


Memang terasa aneh. Di zaman yang serba kompetisi seperti ini, banyak kita jumpai orang berpandangan demikian. Mereka beranggapan bahwa bekerja adalah urusan ke-10 dalam hidupnya.


Sumber: http://coklatsedap20sen.blogspot.com/2010/11/kaki-ampu.html


Karena Hidup Harus Bekerja

Hakekat hidup manusia adalah untuk bekerja. "Manusia adalah homo faber, makhluk bekerja", demikian pendapat Musa Asy'arie dalam bukunya Islam, Etos kerja dan pemberdayaan Ekonomi Umat (1997). Asy'arie berpandangan bahwa bekerja adalah manifestasi dari tujuan dan tugas hidup manusia, yakni untuk beribadah kepada Tuhan dan menjadi khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi.


Sesungguhnya antara tujuan beribadah dan tugas sebagai khalifah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena tugas
kekhalifahan sebenarnya juga merupakan wujud beribadah kepada Allah SWT. Islam tidak memisahkan antara urusan duniawi dan akhirat. Tentunya tugas sebagai khalifah dapat terlaksana dengan baik mensyaratkan bagi manusia untuk bertindak atau bekerja secara sungguh-sungguh.


Dalam konteks ini, bekerja memiliki posisi sentral dalam agama Islam. Islam adalah agama kerja. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk bekerja. Karena wajib, tentunya, sebagaimana kaidah ilmu fiqh, jika tidak bekerja maka kita masuk kategori orang berdosa. Sebaliknya, jika kita melaksanakannya (bekerja) maka Allah akan memberi imbalan pahala. Dan pahala di dunia adalah rizki yang barokah.

Lebih dari itu, menurut DR. Ahmad Janan Asifuddin, MA., pengajar UIN Sunan Kalijaga, agama Islam memberi penghargaan yang sangat besar bagi orang yang bekerja, sehingga menempatkan kerja sebagai bentuk amal shalih pada posisi yang amat tinggi yaitu kedua setelah iman.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah SWT menjadikan orang-orang yang bekerja berdampingan (disejajarkan) dengan orang-orang yang berjihad dijalan-Nya. Dalam sebuah riwayat Umar Bin Khattab r.a. pernah berkata, " tidak ada sesuatu yang mendatangkan kematian bagiku setelah jihad di jalan Allah, yang lebih aku dambakan kecuali mati dalam keadaan bekerja".

Islam sangat mencela umatnya yang tidak bekerja. Suatu hari Umar Bin Khattab sedang mendapati seorang sahabat yang selalu berdo'a, tidak mau bekerja. Lalu beliau berkata "Janganlah seorang dari kamu duduk dan malas mencari rizki, kemudian ia mengetahui, langit tidak akan menghujankan emas dan perak".

Dan dalam kesempatan lain, khalifah Umar r.a. pernah mengatakan "sesungguhnya aku memandang seorang pemuda, maka aku kagum kepadanya lantas aku bertanya apakah dia punya suatu pekerjaan?. Lalu dijawab tidak, maka jatuh nilai pemuda itu dalam pandanganku".

Nah, kalau demikian pandangan Islam tentang kerja. Bahwa bekerja adalah kewajiban dan bekerja adalah cara manusia menunjukkan eksistensi hidupnya, Maka tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak bekerja, bukan?

Kuncinya Etos Kerja

Islam tidak membeda-bedakan jenis pekerjaan yang dilakukan umatnya. Antara menjadi buruh, karyawan, manager, direktur, pedagang, pegawai negeri atau menjadi kuli bangunan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan.

Alkisah, Rasulullah SAW pada suatu ketika mencium tangan seseorang yang bengkak karena banyak bekerja, lalu beliau menegaskan bahwa tangan seperti itu adalah tangan yang disukai Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan "kasar" pun tetap mulia di hadapan Allah dan Rasul-Nya.

Apapun pekerjaannya etos kerja adalah kuncinya, demikian pandangan dalam Islam. Etos kerja sebagai spirit, motivasi dan cara pandang seseorang dalam bekerja menjadi kunci utama akan nilai dan bobot kualitas sebuah pekerjaan.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mencari rizki, tentunya hal ini hanya dapat dilakukan dengan bekerja. Namun, tujuan bekerja tidak hanya untuk mengejar materi semata. Kalau sekedar materi, pastinya orang yang sudah kaya-raya tidak perlu bekerja, bukan?

Prinsip pertama yang menjadi dasar dalam bekerja adalah bahwa bekerja adalah ibadah. Inilah etos kerja didalam Islam. Karena sebagai bentuk ibadah maka apapun pekerjaannya haruslah bersumber dan dilakukan dengan cara-cara yang halal, inilah prinsip etis yang menjadi etos dalam bekerja.

Selain itu, bekerja adalah amanah hidup dan cara orang untuk hidup. Karena amanah, maka bekerja haruslah dilakukan dengan keras dan bersungguh-sungguh yang dilandasi dengan ilmu dan pengetahuan.

Jansen H. Sinamo, motivator dari Institut Dharma Mahardika merumuskan etos kerja dari berbagai sumber dengan nama 8 etos kerja profesional dimana; kerja adalah rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.

Dengan etos kerja, maka akan lahir perilaku etos kerja yang dapat menuntun manusia menuai kesuksesan. Baik sukses untuk diri, sukses untuk organisasi dan tentunya sukses buat bangsa. Bangsa yang besar selalu dimulai dari kebesaran etos kerja warganya.

Ciri Orang Beretos Kerja Tinggi

Sumber: http://widyananda07.wordpress.com/2011/01/28/saat-bekerja-untuk-berkarya/


ISLAM sangat menjungjung tinggi etos kerja. Al-Qur'an menyebutkan bahwa derajat seseorang dihadapan Allah diukur sejauh mana kualitas kerjanya. "Sesungguhnya Aku jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasannya, supaya Aku menguji, manakah diantara kamu sekalian orang yang lebih baik amal/pekerjaannya" (QS. Al-Kahfi: 7)
Seperti apakah karakteristik orang yang digolongkan sebagai beretos kerja tinggi?. Berikut ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan panduan.
Bekerja Keras
Kesuksesan hidup hanya dapat diraih dengan bekerja keras. Pekerja keras tidak akan meluangkan waktu sedikitpun untuk bermalas-malasan dan berlaku lemah. Mereka senantiasa menggunakan seluruh tenaga dan fikirannya untuk bekerja. Walau kelelahan, mereka tetap bersemangat karena Allah sangat mencintai para pekerja keras. "Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) dalam mencari rizki yang halal" (HR. Ad-Dailani).

Rajin, tekun dan disiplin

Orang beretos kerja tinggi adalah orang yang senantiasa rajin, tekun dan disiplin dalam bekerja. Mereka dapat mengatur waktu dengan baik sehingga tidak ada yang terbuang percuma. Berangkat ke kantor tidak terlambat, senantiasa mampu menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya, dan sudah pasti tidak suka menunda-nunda pekerjaan. "Maka apabila telah menyelesaikan suatu urusan, kerjakanlah urusan yang lain, dan kepada Tuhanmu gemar dan berharaplah" (QS. Al-Insyirah: 7-8)

Jujur dan penuh rasa tanggung jawab
Tanpa kejujuran dan tanggung jawab, setiap pekerjaan pasti mengundang petaka. Orang yang beretos kerja tinggi selalu menjunjung nilai kejujuran. Pejabat jujur jelas anti korupsi dan pedagang yang jujur tidak akan menipu pembeli. Orang yang beretos tinggi pantang lari dari tanggung jawab. Seberat dan sesulit apapun pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, akan dipikul dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah menyatakan, "setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya".

Pantang menyerah
Dapat dipastikan, tidak ada satupun urusan di dunia ini yang terbebas dari halangan dan rintangan. Bagi orang yang beretos kerja tinggi setiap halangan akan dipandang sebagai tantangan. setiap kesulitan dan cobaan akan dihadapi dengan lapang dada dan pantang menyerah. Gagal dalam berusaha, tidak serta merta mundur dan berhenti, namun akan terus diperbaiki dan dicoba lagi. "...Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan" (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Profesional

Apa jadinya sebuah pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya? tentu kacau bukan?. "Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya", demikian Rasulullah SAW memperingatkan kita.

Salah satu ciri orang beretos kerja tinggi adalah memiliki keahlian (skill) dalam bidang kerjanya. Inilah yang disebutkan sebagai prinsip profesionalitas kerja. James A.F. Stoner Hall, pakar manajemen ternama menyatakan orang disebut profesional jika seseorang itu memiliki 3 hal pokok didalam dirinya yakni; Skill, Knowledge, dan Attitude.

Skill berarti keahlian seseorang dalam bidang spesifik. Knowledge adalah pengetahuan dalam bidang lainnya yang dapat menunjang skill. Dan yang terakhir Attitude, adalah prinsip etika profesionalitas.

Kreatif

Tidak ada yang tidak berubah dalam kehidupan. kian hari perubahan bergerak kian cepat. Agar dapat bertahan, kita membutuhkan kreatifitas. Hanya orang-orang kreatif yang sanggup melawan dan menaklukkan perubahan.

Kreativitas adalah daya cipta dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Kreativitas membutuhkan kemampuan berfikir diluar kebiasaan atau rata-rata (out of the box). Kreativitas akan memunculkan inovasi, yaitu kemampuan untuk memperbaharui hal-hal yang telah ada. Bila kreativitas itu kemampuan, maka inovasi adalah hasil atas produk. Dan kreativitas hanya menjadi milik manusia dengan etos kerja tinggi.

Mandiri

Ketergantungan hanya membuat kita lemah dan tidak berdaya. Ketergantungan akan menghasilkan manusia bermental peminta.

Islam sangat menekankan umatnya agar bersikap mandiri. Rasulullah SAW menyatakan "Tiada seorangpun yang makan makanan yang lebih baik dari makanan dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud A.S. Itu pun makan dari hasil usahanya". Nah, sikap mandiri atau berdikari adalah ciri dari orang beretos kerja tinggi.

Sinergi

Orang beretos kerja tinggi selalu siap untuk bersinergi. Hanya dengan sinergi kualitas dan produktivitas kerja semakin mudah diraih.

Dalam bahasa sederhana, sinergi adalah kerjasama sebagai lawan dari sikap egois-individualis. Stephen Covey menganalogikan sinergi sebagai; dimana bila si A seorang, hasil usahanya adalah dua misalnya, sementara ada orang lain si B misal, hasil usahanya juga dua, maka ketika A dan B bekerja bersama-sama secara sinergi, yang dihasilkan tidak hanya empat, tapi bisa sepuluh, duapuluh, bahkan lebih.

Islam sangat menjunjung tinggi sikap sinergi yang diilustrasikan dengan shalat berjamaah akan mendapat pahala lebih tinggi 27 derajat daripada shalat sendirian.

Visioner

Orang beretos kerja tinggi adalah seorang visioner. Setiap kerja yang dijalankan merupakan tahapan dari tujuan dan cita-cita masa depannya. Karena itu mereka selalu fokus dalam mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan tujuan yang digariskan.

Sebagai seorang visioner, maka setiap kerja yang dijalankan selalu berorientasi pada tugas kehidupan, menjadi wakil Tuhan (khalifah) untuk memakmurkan bumi.

Sederhana dan dermawan
Kesuksesan yang diraih dalam bekerja, khususnya materi, tidak menjadikan orang beretos kerja tinggi hidup berkemewahan dan serba glamour. Orang yang memiliki etos kerja tinggi senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan rendah hati. Mereka menyadari bahwa setiap kerja yang dijalankan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.

Selain sederhana, orang yang beretos kerja tinggi senantiasa hidup dengan berbagi. Rizki yang diperoleh bukanlah hak pribadi, ada hak yang lain didalamnya. Orang beretos kerja tinggi adalah sosok-sosok dermawan yang selalu menyisihkan sebagian kekayaannya untuk membantu sesama. Bukan sebagai belas kasihan, namun lebih sebagai bentuk kebersamaan.

Agar Etos Kerja Senantiasa Terjaga


Sumber: http://robbysatriamandala.blogspot.com/2010/10/rodi-rodi.html


MENJAGA etos kerja tinggi dalam setiap pekerjaan memang bukan urusan gampang. Walau kita telah memahami pentingnya etos kerja. Namun, dalam praktiknya, kerap kali kita kehilangan etos dalam bekerja.
Tanpa disadari, kita sering terjebak didalam kebekuan kerja. Produktivitas yang rendah, kejenuhan, kerja asal-asalan dan bermalas-malas ria. "Ah, besok masih ada waktu, tidak perlu diselesaikan sekarang!", sering ungkapan tersebut menggoda dalam benak kita.

Agar kita dapat menjaga etos kerja dalam setiap pekerjaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagaimana dituturkan oleh Syafruddin Anhar, MM., konsultan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM), yakni:


Pertama
, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, mulailah dengan bacaan basmallah dan niatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT. karena sebagai ibadah maka harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Kedua, hindari lingkungan yang mengakibatkan etos kerja kita menghilang. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kualitas kerja kita. Lingkungan yang penuh dengan "manusia pengrumpi", cepat atau lambat akan menarik kita untuk ikut-ikutan suka ngerumpi.

Sedangkan Jansen H. Sinamo, pelatih work-ethos dari Institut Dharma Mahardika Jakarta, memberikan panduan agar motivasi kerja terkait dengan etos senantiasa terjaga. "Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan" tuturnya.

Aturan pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu pekerjaan akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Kedua, kita harus belajar mencintai pekerjaan. Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika kita tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

"Dalam hidup, kadang kita harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita mau makan ikan kita harus mau ketemu durinya", terang Jansen H. Sinamo.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Johann Wolfgang von Goethe, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, "It's not doing the thing we like, but liking the thing we to do that makes life happy".

Memang benar pepatah yang mengatakan, "bukan kecantikannya yang membuat kita cantik, namun kecintaan kitalah yang membuat dia cantik".

Sumber:
Mata Hati, Edisi 03 / Juni 2008

Comments