MENJAUHI HUTANG

Dalam kehidupan sehari-hari masalah utang-piutang adalah soal biasa dan bukan merupakan suatu aib asalkan hal itu benar-benar merupakan kebutuhan yang mendesak dan tidak mampu dilakukan kecuali dengan berutang. Sebagaimana hadist Nabi SAW: "Jabir bin Abdullah berkata aku mendatangi Nabi SAW di masjid waktu dhuha dan beliau bersabda: Shalatlah dua raka'at. Dan aku pernah memberikan pinjaman kepada Nabi yang beliau membayarnya padaku serta menambahkannya." (HR. Bukhari)

Hadist di atas menunjukkan bolehnya memberikan tambahan kita membayarkan utang yang bentuknya seperti hadiah (hibah) tetapi tidak berlebih-lebihan dan tidak mengikat, bahkan tidak menjanjikan dan tidak meminta.



Banyak sekali faktor yang mendorong orang berutang. Yang sudah pasti adalah disebabkan tidak adanya biaya untuk membeli sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok. Lain lagi bila berutang untuk memenuhi kebutuhan yang bukan primer, maka hal itu dilarang karena termasuk menyusahkan diri sendiri (menzalimi diri sendiri) yang jelas dilarang oleh Allah SWT seperti dalam firman-Nya: "Dan belanjakanlah hartamu di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al Baqarah: 195).

Misalnya, dalam konteks anggaran belanja suatu negara, utang menjadi suatu keniscayaan manakala anggaran tersebut defisit. Sementara pendapatan agregat tidak mencukupi seluruh pembiayaan tersebut. Namun bila berutang sudah menjadi semacam karakter padahal sesungguhnya bisa dihindari jika pemerintah benar-benar berhemat, maka berutang yang demikian tergolong dilarang. Apalagi utang tersebut sebagian dikorup sebagai bagian dan fee management atau apapun istilahnya yang kini diakui mencapai 30% dan total utang yang diterima.

Sumber: http://masherikur.blogspot.com/2011/01/hutang-vs-sukses.html

Rasulullah SAW menyindir mereka yang berutang dengan niat mengemplang atau penuh spesifik lagi tidak mau membayar karena ia menganggap yang berutang bukanlah dirinya tetapi pemerintah. Sedangkan kewajiban membayar bisa "diwariskan" kepada generasi berikutnya. Kalau ada niatan seperti itu, jelas itu termasuk dalam sindiran Nabi SAW yang berbunyi: "Barang siapa yang berutang dengan maksud untuk tidak mau membayarnya. Maka Allah akan membinasakan orang itu." (HR Bukhari). Tetapi bagaimana cara membayarnya jika utang kita telah mencapai 150 milyar dolar atau sekitar 1500 trilyun?

Perjalanan historis kita telah membuktikan berapa banyak orang yang berutang trilyunan bisa hidup penuh dengan kemewahan dan pemborosan, tetapi begitu jatuh tempo pembayaran ia bisa kabur dengan leluasa. Jika ia dipenjara memperoleh kamar istimewa. Sementara, seorang pencuri ayam yang kebetulan tertangkap basah bisa menjadi bulan- bulanan massa yang beringas dan sering berakhir dengan kematian si "Pencuri Teri" itu. Disinilah para penegak hukum mendapat ujian. Namun sekali lagi, jika para penegak hukum kita juga mempunyai banyak utang akibat banyak mengambil barang kreditan. Maka ia akan kesulitan menegakkan hukum. Bahkan ia akan mudah disuap memperjual-belikan keadilan kepada siapa yang mampu membelinya dengan harga mahal.

Perilaku demikian dikecam oleh Nabi SAW dengan sabdanya agar kita menjauhi utang karena yang berutang cenderung berbohong, Lebih khusus lagi dalam sabdanya, agar kita tidak memboroskan harta (HR. Bukhari). Bayangkan, sudah banyak utang boros lagi.

Oleh karena itu, jika keadaan kita ini memang sedang krisis sebaiknya elit politik memberikan contoh yang baik bagaimana hidup secara sederhana dan bertindak jujur sebagaimana yang digembar-gemborkan selama ini. Bukan malah menunjukkan perilaku orang-orang yang angkuh. Seolah-olah mempunyai banyak harta padahal uang yang dipergunakannya adalah milik rakyat. Apabila kebetulan kita sebagai pejabat dengarkanlah perkataan Khalifah Umar bin Khatab "Setiap rakyat mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan nasional dan tidak seorang pun yang berhak menikmati lebih dari yang lain, termasuk diriku sendiri. Seorang kepala pemerintahan harus memastikan bahwa seorang penggembala di gunung Sinai pun harus menerima bagiannya dan kekayaan nasional."

Jika para elit pemimpin negeri ini menyadari penderitaan yang dipikul rakyat, niscaya mereka tidak akan bisa tidur nyenyak. Lain halnya jika mereka adalah para budak kekuasaan yang menjadikan kekuasaan sebagai mesin uang dan alat pencari kemegahan, maka kehancuran negeri ini tinggal menghitung hari.

Sumber:
Buletin Ramadhan DKM Al-Anshor - Edisi: 8/Ram-Ied/II.1422 H.

Comments