WOW... SPONGEBOB TERNYATA BERPOTENSI UNTUK ENZIM KANKER

Penyakit kanker selalu memberikan konsekuensi yang berat kepada penderitanya. Namun kini, dua senyawa aktif dari hewan spons mampu memodulasi enzim dalam sel kanker.

Siapa yang tak mengenal cancer disease atau penyakit kanker? Tiap orang memiliki potensi untuk mengembangkan sel kanker dalam tubuhnya. Seperti diketahui, kanker merupakan suatu kondisi ketika sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami pertumbuhan abnormal, cepat, dan tidak terkendali.

Karena sifat sel kanker yang luar biasa ganasnya, banyak peneliti di seluruh dunia berbondong-bondong untuk segera menemukan pengobatan medis demi penyembuhan penyakit degeneratif ini. Tapi yang umumnya terjadi, efek dari pengobatan tersebut juga menimbulkan efek samping yang sama beratnya. Seperti dalam kemoterapi. Selain mampu mematikan sel kanker, ternyata kemoterapi turut membinasakan sel lain yang umumnya masih sehat. Ini memberikan efek yang tidak kecil dan banyak dikatakan bukan sebagai upaya penyembuhan, tapi penambah umur saja.



Tergerak dengan kondisi tersebut, peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Ariyanti Suhita Dewi, mencoba untuk melihat kemampuan senyawa bioaktif apa yang mengandung anti kanker dalam bahan kimia alam. Selama ini, bahan kimia alam selalu dikedepankan pada hewan atau tumbuhan yang berada di darat. Namun yang banyak dilupakan adalah potensi bahan alam dari lautan.

Bagi peneliti asing, pemanfaatan spons sebagai sebuah sampel utama percobaan ekstraksi senyawa diawali oleh penemuan Bergmann dan Fenney di tahun 1950. Saat itu senyawa aktif yang didapatnya merupakan Crytotethia crypta. Setelah itu, sepanjang perjalanannya hingga kini, telah 17.000 senyawa aktif ditemukan dari spons laut dan umumnya selalu berpotensi menjadi antigen bermanfaat.

Namun, mengapa spons menjadi pilihan sampel utama untuk penemuan senyawa dari bahan alam? Alasan utama berkisar pada kemampuan spons yang bersifat filter feeder, yaitu dapat menahan mikroorganisme laut dalam tubuhnya karena sifat tubuhnya yang menyerap. Apalagi bila jenis spons yang ditemukan berada di wilayah coral triangle yang merupakan arus pertemuan sabuk laut. Oleh karena itu, bisa dipastikan mikroorganisme yang didapat lebih banyak dua kali lipatnya dari spons di luar coral triangle. Karena banyaknya mikroorganisme yang melekat, mau tak mau keberagaman senyawa yang dikandungnya melebihi bahan kimia alam lainnya.

Ariyanti yang menempuh studi di University of Columbia, Kanada, dan menjadikan penelitian spons sebagai topik utama tesisnya, memilih sebuah prosedur pencarian senyawa antikanker yang menekankan pada penguatan sistem imun. Proses ini disebut immunomodulator. Jadi, senyawa yang ke depannya berpotensi menjadi obat kanker tersebut tidak lagi akan menyerang seluruh sel yang ada dalam tubuh, tapi lebih berfokus pada enzim-enzim tertentu yang ada di dalam sel kanker saja. Dua senyawa tersebut ialah isoaaptamine dan Theonella peptolide Id. Kedua senyawa itu diketahui memiliki sifat antikanker saat diujicobakan dengan beberapa enzim yang ada di dalam sel kanker.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Nice_Sponge.jpg
ANTIKANKER | Spons laut digunakan sebagai bahan pembuatan obat antikanker. Kini obat tersebut dalam penelitian.

Proses "In Vitro"

Sesuai bioassay atau prosedur yang dipakai saat melakukan penelitian, pertama, peneliti kelahiran Malang, 12 Januari 1983, tersebut melakukan proses in vitro dari spons jenis Aaptos suberitoides sp. Awalnya, spons diekstraksi agar menjadi ekstrak pekat atau crude extract.

Ekstrak ini selanjutnya akan diseparasi menjadi beberapa senyawa spesifik sesuai golongannya. Pasca diseparasi atau fraksinasi, ekstrak tersebut harus dipurifikasi agar didapatkan sebuah senyawa murni yang dapat dianalisis.

"Setelah ekstrak pekat menjadi senyawa murni, lalu akan dianalisis tahap satu," ujar anak ketiga dari tiga bersaudara ini. Pada proses ini, senyawa yang telah difraksinasi dan dipurifikasi akan ditarungkan dengan enzim dalam sel uji coba.

Sel uji coba ini biasanya menggunakan sel antikanker, antioksidan, antivirus, anti bakteri, dan antimalaria," tegas perempuan yang hobi membaca ini. Umumnya, proses tersebut tidak bisa dilakukan sekali dan langsung berhasil. Perlu proses yang panjang hingga dapat dipastikan apakah sebuah senyawa itu aktif atau tidak. "Bahkan ada beberapa peneliti melakukan hingga 40 kali isolasi," katanya seraya tertawa.

Untungnya, khusus dua senyawa yang ditemukannya, Ariyanti cukup hanya mengulangi hingga tiga kali dan langsung menemukan enzim yang dapat dimodulasi oleh dua senyawa aktif tersebut. Khusus isoaaptamine ternyata bereaksi untuk menghambat enzim indoleambine 2,3 - dioxygenase, sebuah enzim yang berpotensi mendorong kemampuan sel kanker untuk berkembang. Sedangkan senyawa Theonellapeptolide Id mampu mengaktivasi enzim sh2 containing inositol 5 phosphatase, sebuah enzim yang mampu melawan perkembangan sel kanker.

Karena kedua senyawa ini berpotensi cukup besar untuk dapat dikembangkan demi kebutuhan medis, pasca-uji coba, Isoaaptamine dan Theonellapeptolide harus dirunut struktur kimiawinya. Perunutan ini dilakukan menggunakan sebuah alat bernama Nuclear Magnetic Resonance atau Resonansi Magnetik Inti. Dengan diketahui struktur inti dari suatu bahan alam, kemungkinan untuk membuat sintesis yang memiliki fungsi sama menjadi lebih besar.

Pembuatan sintesis dirasa sangat penting. Selain karena bisa menjadi bahan sekunder atau substitusi, bahan alam seperti spons yang suatu saat bisa saja punah tidak akan terjadi. Hal ini ditekankan oleh Dr. Ekowati Chasanah, Kepala Penelitian Bioteknologi Badan Riset Kelautan dan Perikanan. "Dengan adanya sintesis yang tercipta dari mikroba lain, biaya bisa lebih ditekan dan produksi secara besar-besaran untuk kepentingan komersialisasi tidak akan merusak ekosistem," ujarnya.

Belum lagi susahnya spons laut untuk dibudidayakan menambah daftar panjang mengapa penelitian semacam ini akan memakan waktu 20 hingga 30 tahun untuk mencapai tahap penemuan obat.

"LIPI sebagai lembaga penelitian sebenarnya masih kurang mengkesplorasi laut, yang nyatanya malah menjadi tambang incaran para peneliti asing," papar Ekowati gamblang. Selain itu, masalah yang masih krusial dan kurang mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat adalah kurangnya ahli taksonomi di Indonesia. "Saat ini, bila hendak mentaksonomi sebuah spesies, maka harus dilakukan ke luar negeri. Itu tentu menambah biaya lagi. Belum lagi jumlah Resonansi Magnetik Inti yang dimiliki Indonesia hanya satu dan dipakai beramai-ramai. Ini menjadi suatu kewajaran karena satu alatnya bisa seharga 10 miliar rupiah. Tapi bila hendak melihat potensi, senyawa bioaktif yang diisolasi di negara maju memiliki nilai ekonomis tinggi. Pada tahun 2002, Amerika Serikat berhasil memperoleh 34 miliar dollar AS dari penggunaan senyawa tersebut untuk pengobatan. Padahal dari satu kesempatan yang pernah dikemukakan Ekowati, dari 92 sampel yang diisolasinya, sekitar 0,2 persen isoaaptamine. Berarti potensi senyawa aktif yang berguna untuk kesehatan tidak kurang dari angka tersebut dalam tubuh spons.

Sumber: http://www.archiesofdavison.com/promotions.html

Spons yang Penuh Fungsi

Spons merupakan hewan phylium Porifera yang tubuhnya terdiri dari semacam jelly bernama mesohyl yang berdempetan di antara dua lapisan tipis sel. Saat hewan lain tidak memiliki sebuah sel yang dapat bertransformasi menjadi sel spesial, spons unik karena memiliki tipe lain. Umumnya migrasi itu berupa perubahan dari lapisan sel inti dengan mesohyl.

Spons tidak memiliki sistem sirkulasi atau pencernaan. Cara yang umum mereka lakukan adalah dengan mengatur aliran konstan air yang melewati tubuhnya untuk memperoleh makanan dan oksigen serta memindahkan sampah buangannya. Bentuk tubuh dari spons adaptif untuk memaksimalkan efisiensi aliran air.

Walaupun mereka bisa dikatakan spesies air tawar, kebanyakan mudah ditemukan di perairan air asin, di antara zona pasang hingga menuju kedalaman 8.800 meter. Kira-kira dari 9.000 spesies yang diketahui keberadaannya, mengonsumsi bakteri dan partikel mini lainnya di laut. Beberapa mikroorganisme berfotosintesis sebagai endosymbiont dan memproduksi makanan serta oksigen lebih banyak dari yang dikonsumsi. Beberapa spesies spons hidup di lingkungan dengan jumlah makanan terbatas sehingga kemudian menjadi karnivora dengan memakan hewan crustacean kecil lainnya.

Saat kondisi memburuk, misalnya suhu turun drastis, banyak spesies air tawar dan yang hidup di lautan memproduksi gemmule, sebuah kelopak penyelamat dari sel tak terspesialisasi yang terbengkalai hingga kondisi meningkat dan berubah menjadi spons jenis baru atau merekoloni tulang milik orang tuanya.

Bagaimanapun, kebanyakan spons jantan masih melakukan reproduksi secara seksual dengan melepaskan sel spermanya ke dalam air. Sedangkan spesies betina menangkap sel sperma tersebut bukan untuk dicerna, namun mentransportnya ke ovarium di mesohyl (wew... apa enaknya reproduksi seperti itu). Fertilisasi telurnya mulai berkembang saat orang tua dengan larva yang dihasilkan dilepaskan untuk berenang bebas mencari tempat yang sesuai bagi mereka. Fertilisasi larva terjadi di luar tubuh orang tuanya.

Spons dikenal sebagai organisme laut yang sangat prospektif sebagai sumber senyawa bioaktif antikanker. Namun hingga kini, belum ditemukan antikanker yang dapat mengatasi penyakit tersebut dengan tuntas dan aman. Hal ini mendorong eksplorasi terhadap kandungan senyawa-senyawa bioaktif antikanker gencar dilakukan, terutama di negara-negara maju.

Beberapa percobaan yang telah menghasilkan senyawa bioaktif ternyata tidak hanya dari aaptos suberitoides. Pada spons Haliclona sp di perairan Pulau Panjang, Jepara, Jawa Tengah, juga ditemukan senyawa bioaktif dari golongan steroid. Kedepannya, spons memiliki potensi yang tidak kecil. Selain sebagai makanan penyu laut, spons bisa tercipta menjadi obat (wow... Spongebob I Luv U...).

Sumber:
Koran Jakarta - Jumat 18 September 2009
kecuali judulnya itu kreasi saya sendiri hehehe

Comments